Senin, 18 April 2011

Kenikmatan Berlari

Senin, 18 April 2011
Tiket Pesawat Murah

Semua pria dalam keluargaku selama tiga generasi berprofesi sebagai dokter. Itulah pekerjaan kami. Aku mendapat stetoskop pertamaku ketika berusia enam tahun. Aku mendengar berbagai kisah tentang nyawa yang telah diselamatkan kakek dan ayahku, bayi yang proses kelahirannya mereka tangani, malam-malam saat mereka mendampingi anak sakit. Kepadaku diperlihatkan tempat kosong di plakat kuningan yang menempel di pintu kantor yang kelak akan diisi namaku. Itu sebabnya masa depanku sudah terukir dalam khayalanku.

Tapi ketika tiba saat masuk college, aku mulai merasa bahwa menjadi dokter bukan cita-cita yang terukir dalam hatiku. Salah satu alasannya adalah reaksiku terhadap berbagai situasi sangan berbeda dengan reaksi ayahku. Aku pernah melihatnya dibangunkan pukul tiga pagi untuk merawat seorang anak kecil yang terkena radang paru-paru karena orang tuanya tidak lebih awal membawanya ke dokter. Aku pasti akan sudah menegur mereka, tapi ayahku takkan pernah melakukannya.


"Orang tua begitu ingin anak mereka sehat sehingga kadang-kadang tidak mau mengakui bahwa anak itu sakit", katanya memaafkan.
Lalu ada kasus mengenaskan seperti kematian seorang bocah berumur sepuluh tahun karena tetanus, yang aku tahu takkan sanggup kuhadapi. Yang paling mengkhawatirkanku adalah ketakutanku bahwa aku bukan anak seperti yang diinginkan ayahku. Aku tak berani mengatakan keraguanku kepadanya dan berharap aku bisa menyelesaikannya sendiri.

Dengan pikiran dibebani dilema ini pada musim panas sebelum masa kuliah di college dimulai, aku diberi tantangan yang kuharap bisa mengalihkan perhatianku. Seorang pasien telah memberi ayahku seekor anak anjing setter Inggris sebagai pembayaran atas bantuannya. Ayah mempunyai penangkaran anjing pemburu burung di pertanian kami. Dan aku yang melatih anjing-anjing itu. Seperti biasa, Ayah menyerahkan anjing itu kepadaku.
(kurang lebih anjingnya kayak gini)
 Jerry adalah anak anjing penurut berusia sekitar sepuluh bulan. Seperti kebanyakan anjing setter, sebagian besar tubuhnya berwarna putih dihiasi bercak-bercak merah. Namun, daun telinganya yang berwarna merah merata menjulang terlalu jauh dari kepalanya, membuatnya terlihat seperti badut. Melihatnya saja sudah membuatku ingin tertawa, sesuatu yang sangat kubutuhkan. Ia menguasai perintah dasar : duduk, diam, berbaring, berjalan. Satu-satunya masalah yang ia miliki adalah "kemari". Begitu berada di tengah hamparan rumput tinggi, ia suka menjelajah. Aku memanggilnya dan meniup peluit pelatih. Ia hanya menoleh dan memandangku, lalu meneruskan apa yang sedang dilakukannya.

Saat kami selesai dengan pelajarannya, aku duduk dengannya di bawah sebuah pohon ek tua dan berbicara. Aku membahas apa yang seharusnya ia ketahui, dan kadang aku berbicara tentang diriku.
"Jerri", kataku, "aku tidak suka berada dekat orang sakit. Apa yang akan kaulakukan jika kau jadi aku?", Jerry duduk di atas dua kaki dan menatap mataku, sambil memiringkan kepala ke kiri dan kanan, mencoba membaca nada suaraku. Anjing itu begitu serius sehingga aku tertawa terbahak-bahak dan melupakan betapa khawatirnya aku.

Setelah makan pada suatu malam, aku membawanya ke padang untuk berlatih. Kami sudah berjalan sekitar seratus meter ke tengah rerumputan setinggi lutut ketika seekor burung layang-layang, terbang mencari serangga di tengah rembang petang, melesat di atas kepala Jerry. Jerry berdiri diam. Sesaat kemudian ia mengejar burung itu. Burung itu membawanya ke arah kolam dan kembali menyusuri sepanjang pagar padang, seolah menantang Jerry mengikutinya. Lalu burung itu menghilang tinggi di langit. Jerry sesaat berdiri memandanginya dan kemudian terengah-engah berlari menghampiriku, sangat bangga pada dirinya sendiri.

Pada hari-hari berikutya, aku melihat minat Jerry dalam hal berburu sirna sementara antusiasmenya untuk berlari bertambah tinggi. Jerry tanpa alasan melesat berlari di padang rumput, secepat makhluk liar. Aku tahu Jerry bisa mencium bau ayam hutan karena kepalanya akan miring ke samping ketika melewati binatang itu. Jerry tahu apa yang harus dilakukannya, tapi ia tidak melakukannya. Ketika akhirnya Jerry kembali, kelelahan dengan mata merah, ia akan berbaring di atas tanahdengan mimik yang mencerminkan kepuasan seekor anjing yang sangat terpenuhi hingga aku kesulitan untuk mengajaknya pergi.

Aku mulai lagi dari awal. Selama beberapa menit Jerry akan mendengarkan dengan penuh perhatian. Lalu ia akan mencuri bandana dari saku belakangku dan melesat berlari di padang, hidung menentang angin, kaki memompa kencang. Berlari baginya merupakan kenikmatan. Meskipun sangat ingin berhasil melatihnya, aku bulai merasakan kegembiraan yang aneh ketika ia berlari.

Sebelumnya aku tak pernah gagal melatih anjing, tapi kini aku benar-benar gagal. Ketika bulan September tiba, akhirnya aku harus memberitahu Ayah bahwa anjing pemburu burung itu tidak mau berburu.
"Ya sudah", katanya. "Kita terpaksa harus menetralkannya dan memberikannya pada seseorang di kota untuk dijadikan hewan peliharaan. Anjing yang tak mau melakukan apa yang sudah menjadi keahliannya sejak lahir takkan bernilai tinggi".

Aku takut menjadi anjing rumahan akan mematikan jiwa Jerry. Keesokan harinya aku berbicara panjang lebar dengan Jerry di bawah pohon ek.
"Kebiasaanmu berlari akan membuatmu dikurung", kataku. "Tidak bisakah kau menangkap dulu burungnya dan kemudian baru berlari?", Jerry mengangkat matanya saat mendengar suaraku, menatap dari bawah kelopak mata seperti yang selalu dilakukannya bila merasa malu. Sekarang aku merasa sedih. Aku berbaring dan Jerry ikut mendekam di sebelahku, kepalanya di atas dadaku. Sambil menggaruk telinganya, aku memjamkan mata dan memeras otak memikirkan masalah kami berdua.

Hari Sabtu berikutnya, pagi-pagi, Ayah membawa Jerry ke luar untuk melihat sendiri apa yang bisa dilakukan anjing itu. Pada awalnya Jerry menjelajahi padang rumput seperti seekor anjing pemburu profesional.

Ayah menatapku dengan pandangan aneh, seolah aku telah menipunya tentang Jerry.
Tepat saat itu, Jerry pergi berlari.

"Apa yang sedang dilakukan anjing itu?".
"Berlari", kataku, "ia suka berlari".
Jerry pun berlari. Ia berlari di sepanjang bentangan pagar, lalu melompatinya, tubuh rampingnya membentuk lengkungan yang menakjubkan. Ia berlari seolah hal itu sangat mudah dan anggun, seolah hal itu membuatnya menjadi bagian padang rumput, sinar matahari, udara.

"Itu bukan anjing pemburu, itu rusa!", kata Ayahku. Dan aku hanya bisa berdiri melihat anjingku gagal melakukan ujian terpenting dalam hidupnya. Ayah memgang bahuku. "Kita harus mengakuinya - ia takkan bisa menjalankan tugasnya".

Keesokan harinya aku bersiap-siap ke sekolah, lalu berjalan ke kandang anjing untuk mengucapkan selamat tinggal kepada Jerry. Jerry tak ada di sana. Aku bertanya-tanya apakah Ayah sudah membawanya ke kota. Perasaan bahwa aku telah mengecewakan kami berdua membuatku merasa tersiksa. Tapi ketika kembali ke dalam rumah, aku sangat lega melihat Ayah sedang duduk membaca dekat perapian, sementara Jerry terbaring tidur di kakinya.

Saat aku masuk, Ayahku menutup bukunya da menatap wajahku.
"Nah, aku tahu anjing ini tidak melakukan tugasnya", katanya, "tapi yang dilakukannya adalah sesuatu yang luar biasa. Orang jadi bersemangat melihatnya berlari, adalah dia adalah dia dan mengetahuinya. Mengetahuinya sampai ke tulang-tulangnya".

Aku menarik napas dalam. "Ayah", kataku "kurasa aku tidak bisa menjadi dokter". Ia menurunkan tatapannya, sekolah akhirnya ia mendengar apa yang takut didengarnya. Mimiknya begitu sedih sehingga aku merasa hatiku akan hancur. Tapi ketika melihatku lagi, matanya dipenuhi rasa bangga yang belum pernah kulihat sebelumnya.

"Aku tahu", katanya pelan. "Yang meyakinkanku adalah ketika aku memerhatikanmu dengan anjing tak berguna ini. Kau seharusnya melihat wajahmu ketika ia pergi berlari".

Membayangkan kekecewaannya yang sangat dalam, aku nyaris menangis. Aku berharap seandainya aku sanggup melakukan apa yang akan membuatnya bahagia. "Ayah", kataku, "maafkan aku".

Ia menatapku tajam. "Nak, tentu saja aku menyesal kau takkan menjadi dokter. Tapi aku tidak menyesal pada dirimu".

"Pikirkan apa yang kau coba lakukan pada Jerry", katanya. "Kau mengharapkan ia menjadi pemburu seperti yang kaulatih. Tapi ia bukan pemburu. Bagaimana perasaanmu tentang hal itu?".

Aku menatap Jerry yang sedang tertidur, kakinya bergerak-gerak. Seolah-olah ia juga berlari dalam tidurnya. "Sesaat aku merasa telah gagal", kataku. "Tapi ketika melihatnya berlari dan menyadari betapa ia mencintainya, kurasa aku berpikir itu sudah cukup baik".

"Memang itu baik", kata Ayahku. Ia memandangku tajam. "Sekarang kita hanya menunggu melihat caramu berlari".

Ia menepuk bahuku, mengucapkan selamat malam, dan meninggalkanku. Pada saat itu aku memahami ayahku seperti yang belum pernah terjadi sebelumnya, dan rasa cinta yang kurasakan seolah memenuhi ruangan. Aku duduk dekat Jerry dan menggaruk-garuk punggungnya.
"Aku juga ingin tahu bagaimana caraku berlari", bisikku kepadanya. "Aku benar-benar ingin mengetahuinya".

Jerry agak mengangkat kepalanya, menjilat tanganku, meregangkan kakinya, dan kemudian kembali menuju tampat penuh kebahagiaan dalam mimpinya.

Kalau kamu punya artikel menarik untuk di share, kamu bisa mengirimnya ke blog ini. Caranya silakan klik di sini. 100% Gratis ;) Jangan lupa juga untuk follow twitter anax kolonx @anaxkolonx dan like fanspagenya di di sini ;) Kalau mau copas artikel "Kenikmatan Berlari" di atas, jangan lupa nyertain link sumbernya dari blog ini loh, awas kualat kalo enggak disertain ;)
Kalau kamu suka dengan artikel "Kenikmatan Berlari" di atas, kamu bisa membaginya dengan teman facebook, twitter ataupun teman online kamu yang lainnya. Caranya dengan menekan tombol di bawah ini.

Artikel Terkait Tentang Kenikmatan Berlari :

Komentar Untuk Kenikmatan Berlari

 

Berbagi Lewat Tulisan - Copyright © 2010 Ratih Yuna. All Rights Reserved - Kenikmatan Berlari