Stella sudah siap menghadapi kematian suaminya. Sejak dokter menyatakan Dave mengidap kanker stadium akhir, mereka berdua mengdapi kenyataan yang tak bisa dihindari itu, berusaha sebaik mungkin memanfaatkan sisa waktu mereka bersama. Dave tak punya masalah keuangan. Setelah menjanda, Stella tidak menanggung beban baru. Masalahnya hanya kesendirian yang menyiksa. Hidupnya tak mempunyai tujuan.
Mereka sepakat tidak mempunyai anak. Hidup mereka sangat penuh warna dan pengalaman. Mereka puas dengan karier yang menyibukkan dan dengan satu sama lain. Mereka dulu mempunyai banyak teman. Dulu. Itulah kata yang berlaku sekarang. Kehilangan satu-satunya orang yang kau cintai dengan seluruh hatimu saja sudah cukup buruk. Tapi selama beberapa tahun terakhir, ia dan Dave harus berulang kali menghadapi kematian teman dan kerabat mereka. Mereka semua sudah memasuki usia senja, saat tubuh manusia mulai lelah. Sekarat. Hadapilah kenyataan ini, mereka sudah tua.
Dan sekarang, mendekati natal pertama tanpa Dave, Stella sangat menyadari kesendiriannya.
Dengan jari-jari gemetar, ia mengecilkan volume radio supaya alunan musik natal memudar ke dalam keheningan. Ia heran melihat pos sudah datang. Sambil mengernyit nyeri karena rematik yang dideritanya, ia membungkuk untuk memungut amplop-amplop putih yang tergeletak di atas lantai. Ia membukanya sambil duduk di bangku piano. Yang datang kebanyakan kartu natal, dan matanya yang sedih tersenyum, saat melihat-lihat gambar - gambar tradisional yang sudah dikenalnya dan membaca pesan-pesan penuh cinta di bagian dalam. Ia menata kartu-kartu hiasan natal yang ada. Liburan natal tak sampai seminggu lagi tiba, tapi ia tak sanggup memasang pohon natal, atau bahkan memasang kandang natal yang dibuat Dave dengan tangannya sendiri.
Tiba-tiba, diselimuti perasaan kesepian yang begitu mendalam, Stella menutupi wajah dengan kedua tangan dan melepaskan tangisnya. Bagaimana mungkin ia bisa menjalani natal dan musim dingin sesudahnya.
Dering bel pintu begitu mengejutkan Stella hingga ia harus menahan pekiknya. Ah, siapa yang datang bertamu? Ia membuka pintu yang terbuat dari kayu da memusatkan penglihatannya ke balik pintu kaca dengan perasaan takut. Di beranda depan berdiri seorang pemuda aneh, yang kepalanya nyaris tak terlihat di balik kotak karton besar yang dibawanya. Stella mengintip ke balik tubuh pemuda itu, ke arah halamannya, tapi mobil kecil yang dikendarainya tidak menunjukkan identitasnya. Setelah mengumpulkan keberanian, Stella agak meregangkan pintu dan pemuda itu melangkah ke samping untuk berbicara di depan celah pintu.
"Bu Thornhope?", Stella mengangguk. Pemuda itu melanjutkan, "Ada paket untuk anda".
Perasaan ingin tahu mengusir kekhawatiran Stella. Ia mendorong pintu sampai terbuka lebar, dan pemuda itu masuk. Sambil tersenyum, pemuda itu dengan hati-hati meletakkan bawaannya di atas lantai dan berdiri untuk mengeluarkan amplop yang menonjol di sakunya. Ketika ia menyodorkannya kepada Stella, terdengar suara dari dalam kotak. Stella melompat kaget. Pemuda itu tertawa minta maaf dan membugkuk utuk membuka tutup kotak karton, mengundang Stella mengintip isinya.
Seekor anjing! tepatnya, seekor anjing retriever Labrador berwarna cokelat keemasan. Sambil mengangkat tubuh binatang yang menggeliat-geliat itu, pemuda itu menjelaskan, "Ini untuk anda, Bu". Anak anjing itu menggoyang-goyangkan ekornya karena bahagia dibebaskan dari kurungan dan dengan gembira mencium-cium wajah pemuda itu dengan moncongnya yang basah.
"Seharusnya kami mengirimnya pada malam natal", ia melanjutkan terputus-putus, sibuk berusaha menyelamatkan dagunya dari lidah basah anjing kecil itu, "tapi kami mulai besok sudah libur. Saya harap anda tidak keberatan menerima hadiah lebih awal".
Rasa terkejut membuat Stella tidak sanggup berpikir jernih. Tak mampu merangkai kalimat yang bisa dimengerti, dengan terbata-bata ia berkata, "Tapi .... saya tidak.... maksud saya.... siapa?".
Pemuda itu meletakkan si anjing kecil di atas keset diantara mereka, dan kemudian menjulurkan tangan, telunjuknya menyentuh amplop yang masih dipegang Stella.
"Di dalamnya ada surat yang menjelaskan semuanya. Anjing kecil ini dibeli saat masih dalam kandungan induknya. Untuk hadiah natal".
Pemuda asing itu berbalik untuk pergi. Rasa frustasi membuat Stella berhasil melontarkan sebuah pertanyaan. "Tapi siapa...siapa yang membelinya?".
Sesaat berhenti di ambang pintu, pemuda itu menjawab, "Suami anda, Bu", lalu ia pergi.
Penjelasannya ada di dalam surat. Stella sama sekali melupakan anak anjing itu ketika melihat tulisan tangan yang sangat dikenalnya. Ia seperti berjalan dalam tidur, menuju kursinya di samping jendela. Ia memaksa matanya yang bersimbah air mata membaca tulisan suaminya. Dave menulis surati itu tiga minggu sebelum kematiannya dan menitipkannya kepada pemilik induk anjing, untuk diantarkan bersama anak anjing itu sebagai hadiah natal terakhir bagi Stella. Surat itu penuh cinta dan pembangkit semangat, serta nasihat supaya Stella tegar. Dave berikrar ia akan menunggu hari saat Stella bergabung dengannya. Dan ia telah mengirimkan hewan kecil ini untuk menemani istrinya sampai saat itu tiba.
Saat pertama kalinya teringat kepada makhluk kecil itu, Stella heran melihat si anak anjing sedang diam menengadah menatapnya, mulutnya yang mungil dengan lidah terjulur menyerupai seringai lucu. Stella meletakkan lembaran surat Dave dan menjulurkan tangan meraih gumpalan bulu keemasan itu. Tadinya ia mengira anjing itu cukup berat, tapi ternyata ukuran serta bobotnya sama dengan sebuah bantal sofa. Dan begitu halus serta hangat. Ia menimangnya dan anjing itu menjilati tulang rahangnya, lalu bergelung di relung lehernya. Air mata Stella kembali menetes, hatinya diliputi kehangatan, dan anjing itu menerima tetesan air matanya tanpa bergerak.
Akhirnya, Stella menurunkannya ke pangkuan, lalu menatapnya dengan tenang. Perlahan disekanya pipinya yang basah, lalu ia tersenyum kembali.
"Nah, cilik, rupanya hanya kau dan aku". Lidah merah muda anjing itu keluar masuk menyetujui. Senyum Stella melebar, dan tatapannya beralih ke luar jendela. Senja telah tiba. Dibalik serpihan salju yang kini melayang turun, ia melihat lampu natal yang ceria menghiasi tepian garis atap rumah para tetangganya. Potongan lagu Joy to the World sayup-sayup mengalun dari arah dapur.
Tiba-tiba Stella merasa diselimuti perasaan damai dan syukur yang tak terhingga. Rasanya seperti direngkuh dalam pelukan penuh kasih. Jantungnya berdebar kencang, tapi diiringi kegembiraan serta ketidak percayaan, bukan duka atau kesepian. Ia tak perlu merasa sendirian lagi.
Setelah kembali memusatkan perhatian kepada anjing itu, ia berkata, "Kau tahu, Nak, aku punya sebuah kotak di gudang bawah tanah yang kurasa akan kau sukai. Di dalamnya ada sebuah pohon dan beberapa hiasan serta lampu yang akan membuatmu sangat terkesan! Dan kurasa kandang tua itu juga ada disana. Bagaimana kalau kita mencarinya?".
Anak anjing itu menyalak gembira menyetujui, seolah mengerti setiap kata. Stella berdiri, meletakkan anak anjing itu di atas lantai, dan mereka bersama-sama turun menuju gudang bawah tanah, siap merayakan natal bersama.
Cerita oleh : Cathy Miller
Kalau kamu punya artikel menarik untuk di share, kamu bisa mengirimnya ke blog ini. Caranya silakan klik di sini. 100% Gratis ;) Jangan lupa juga untuk follow twitter anax kolonx @anaxkolonx dan like fanspagenya di di sini ;) Kalau mau copas artikel "Kiriman yang Tertunda" di atas, jangan lupa nyertain link sumbernya dari blog ini loh, awas kualat kalo enggak disertain ;) |
Komentar Untuk Kiriman yang Tertunda